Skip to content

Punya Adek Bayi

June 21, 2018

Tema: Melahirkan

Latar Tempat: Denpasar, Bali

(Opening – Basa Basi Busuk 🙂 )

Memiliki momongan pasti merupakan impian setiap orang tua. Membayangkan sang buah hati di dalam dekapan, sungguh lucu rasanya. Tapi untuk melewati masa-masa kehamilan dan persalinan bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi para ibu. Seperti kisah ibu yang satu ini, yang tak lain dan tak bukan adalah istri saya sendiri.

Saya dan istri boleh saja berbahagia pada malam itu tanggal 12 Juni, saat kami kontrol rutin ke dokter kandungan. Dr Joni, yang merupakan kerabat keluarga kami, telah menjadi pilihan dalam melewati masa-masa kehamilan sang istri. Senang sekali malam itu Dr Joni memeriksa dan memberitahukan bahwa rahim istri saya sudah pembukaan 1 jari lebih. Praduga dokter adalah anak kami akan lahir sesegara mungkin karena setelah bukaan 1, bukaan selanjutnya akan terjadi lebih cepat. Kami yang statusnya masih calon-orang-tua-newbie itu bahagia campur deg-degan menanti HPL yang jatuh pada antara 15-16 Juni.

Perlahan-lahan, kontraksi mulai melanda. Istri yang mulai khawatir meminta saya menghitung durasi dan interval kontraksi. Hasilnya adalah interval 7 menit dengan rata-rata 45 detik durasi kontraksi. Kami pun berangkat ke RSIA Puri Bunda Denpasar pada tanggal 17 Juni dengan harapan pembukaan sudah makin lebar tapi kami harus merasa kecewa karena bidan di sana mengatakan bahwa rahim istri saya masih di bukaan 1. Dr Joni pun segera datang sesaat setelah kami hubungi. Beliau juga mengkonfirmasi hal yang sama. Mungkin kami yang terlalu buru-buru mengharapkan buah hati kami segera lahir. Tapi saat itu HPL sudah lewat dan juga sudah 5 hari sejak bukaan 1. Kok aneh?

Tanggal 18 malam istri saya mengalami kontraksi yang (menurutnya) luar biasa sakit. Kontraksi itu hingga 3-4 kali dalam 10 menit dengan durasi 1-2 menit di tiap kontraksinya. Sungguh was-was melihat kondisi ini. Hingga akhirnya kami berangkat kembali ke RSIA malam itu. Jam 12 malam, istri saya kembali direkam tapi bidan mengatakan bahwa gerakan bayi dirasa sangat minim dan masih juga di bukaan 1. Saat itu juga Dr Joni menghubungi saya, mengabarkan bahwa ia memprediksi air ketuban mulai tidak menghantarkan oksigen dengan baik sehingga bayi kami mulai lemah. Hal ini dibuktikan dengan bayi kami yang non-responsif. Tapi beliau menyarankan kami tetap stay di RSIA untuk direkam lagi jam 6 pagi.

What? 6 Hours? Yak, betul. Kami pikir kami akan bisa menunggu pagi dengan memejamkan mata sejenak beristirahat. Tetapi, apadaya kontraksi datang tiap 3 menit. Sungguh tidak tega meninggalkan istri seperti itu sedangkan suami asyik ngorok (pengennya sih 😀 ), dan jadilah kami berdua tidak tidur sepanjang malam itu. Hingga pagi tiba…

Hasil rekam pagi itu seburuk semalam. Dr Joni kembali menghubungi saya, menyarankan untuk mengambil tindakan operasi SC (Caesar). That wasn’t the plan! Kami mau bayi kami lahir normal, paling tidak dirangsang induksi. Tapi Dr Joni tidak menyarankan induksi karena sakit yang dihasilkan akan terlalu berat bagi istri dan sang bayi, terlebih lagi bayi kami sudah lemas begitu. Saya sebagai laki-laki tulen harus mengambil keputusan di tengah tangisan istri yang makin menjadi-jadi.

15 menit saya duduk sendiri di luar ruang operasi. Karena memang kami tidak berencana bersalin malam tadi, kami tidak membawa seabrek persiapan yang telah kami packed. Handphone saya mati, tinggal ada punya istri sisa baterai 10% yang saya pakai mengabari orang tua dan mertua. Tak lama berselang, saya dengar bunyi tangisan bayi dari ruang operasi. Is that my baby boy?

Hati ini boleh kembali bahagia melihat bayi kami lahir dengan selamat sentosa. Sungguh pagi yang melelahkan namun penuh haru. Istri saya saat itu masih terbaring lemas pasca operasi sehingga kami harus terpisah karena ia dirawat di ruang rawat. Dr Joni yang memimpin operasi pagi itupun memanggil saya, memberi selamat, dan menceritakan bahwa air ketubannya sudah mulai keruh sehingga memang langkah yang tepat adalah dengan operasi. Kalau kami paksa induksi, kasihan istri pasti kesakitan, kasihan bayi kami. Kalau saja saya nekat saat itu. Kalau saja…

(Paragraf Iklan 😀 )

Kami sangat terbantu dengan adanya pelayanan BPJS Kesehatan. Dengan BPJS, biaya yang kami keluarkan tidak sebanyak apabila tanpa BPJS. Kami naik kelas dari kelas II ke kelas VIP. Staff RSIA Puri Bunda juga menyampaikan kami bisa mendaftarkan bayi kami ke BPJS agar biaya perawatannya bisa di-claim juga sehingga tagihan kami bisa lebih kecil lagi. Bersyukur sekali ada fasilitas seperti ini sehingga melahirkan tidak sebegitu menyeramkannya dari sudut pandang finansial.

(Closing)

Mungkin sekian berbagi pengalaman kali ini. Saat ini bayi kami sudah di rumah dan semakin besar tiap harinya. Sungguh bahagia kami akhirnya memiliki buah hati. Bersyukur pula kami telah memilih dokter dan rumah sakit yang tepat untuk penanganan yang cepat dan tanggap. Semoga pengalaman ini bisa bermanfaat bagi kawan pembaca.

See you next time!

From → Pemikiran Bebas

2 Comments
  1. Dewi Wulandari permalink

    Kak boleh minta review brp biaya yg dikeluarkan utk bersalin disana dgn bpjs?

    • Hai kak Dewi. Maaf I took so long buat bales karena jarang nge-cek akun wordpress.
      Waktu bersalin kita ambil pilihan sectio caesarea alias cesar. Total-nya waktu itu 16 juta
      Kok banyak? Soalnya kita naik kelas ke VIP (naik 1 level), tapi saya gak ambil obat. Waktu itu obatnya 1 juta, katanya obat tambahan cuma kita ambil yang sudah ada dipaketannya aja. Waktu lahir, saya langsung urus BPJS anak karena ternyata terpakai juga buat ngurangi biaya. Total setelah ditanggung BPJS jadi 6 juta. Lumayan banget terbantu 10 juta, mana waktu itu tabungan juga ga banyak hehe.

      Thanks comment-nya. Have a great day!

Leave a comment