Skip to content

Mixing Frekuensi Low-Mid dan Mencari Definisi

Dear Pembaca..

Saya sempat terkesima postingan “Tips Mixing Gitar Bass” yang dulu pernah saya posting mendapat banyak pembaca dan kalo anda google cara mixing bass, artikel itu muncul di deretan utama. Apa algoritma Google gak salah? Haha. Kalo kata orang, mengoptimalkan SEO itu penting sih. Tapi tujuan saya sebenarnya cuma pengen sharing.

Mulai belajar recording dari kelas 2 SMA, belajar mixing saat pertengahan kuliah tahun 2012, ternyata sudah lama sekali ya. Dan banyak juga ilmu yang berkembang, well kurang lebih tau lah. Saya mengalami banyak perubahan pendekatan sama yang namanya mixing audio. Dulu pengennya bass dan treble nya serba keras – proses mixing buta – hasilnya ancur – sampai saya malu mau upload hahaha.

Ternyata mixing itu relatif. Ada yang bass-nya kenceng, ada yang mid-nya tebel. Siapa bilang hasil mixing As I Lay Dying misalnya, karena dia metalcore, terus bassnya keras? Nggak ah, kesannya doang. Aslinya justru low end nya harus dikecilin dan dikontrol buat ngasi headroom pas pasang limiter di akhir mastering biar bisa ikutan loudness war. Jadi, dalam berkarya melalui mixing menurut saya gak ada yang salah, gak ada yang bener. Yang ada tu enak atau nggak didengernya, dan itupun subjektif menurut tiap pendengarnya. Kalo saya, yang penting suaranya bulat dan jelas, tidak washed away

Low Mid Bukan Musuh

Pendekatan mixing setelah umur saya gak puber lagi kini makin dewasa (elaahh..haha..) Kita mixing itu sebaiknya gak berlebihan, gak over. EQ misalnya. Sekarang saya sedikit menyadari, EQ di mixing dan EQ di mastering punya tujuan beda. EQ di mixing sifatnya surgical, mbenerin sebuah frekuensi dari sebuah instrumen. Ini penting karena dari dulu saya suka wide cutting 200-500KHz secara random. Saya selalu menganggap low mid ini musuh jadi harus di hilangkan banyak-banyak. Nyatanya mixdown saya tetep gak bagus haha. Low mid ini justru sebaiknya dikontrol karena kebanyakan instrumen memiliki frekuensi fundamentalnya di area ini, dan frekuensi fundamental itu Db-nya tinggi alias makan tempat. Solusinya cukup narrow cut di frekuensi tertentu di area low mid. Dari 200-500Hz, yang mana? Terserah. Mau fundamental-nya not A B C D E? Terserah. Mana aja boleh. Ingat, mixing itu relatif haha. Yang penting, buat ruang untuk instrumen lain.

Cutting Low Mid di Lead Guitar

Low End & Clarity

Karena low mid bukan musuh, saya menemukan bahwa low end-lah yang selama ini bertanggung jawab atas jelek-gremeng-nya mixingan saya! (alesan sih haha). Sebelum kesana, demi mengejar hasil yang bulat dan jelas, mari kita lihat high freq dulu. Melihat spektrum frekuensi gitar distorsi misalnya, seringkali saya temukan tidak ada apa-apa setelah 6Khz (ada sih tapi dikit). Ini mungkin yang disebut hiss, cuma noise tanpa isi. Saran saya, jika menemukan case seperti ini, lebih baik di filter aja (LPF) untuk menambah clarity dan definisi instrumen terkait. Untuk apa membiarkan frekuensi yang tidak ada apa-apanya? lebih lagi jika malah di-boosting, justru membuat hasil makin gak bulat, kan?! Kalo gak setuju, boleh komen ya hehe.

EQ Gitar Distorsi (Mixing)

Lanjut ke topik Low End/Low Freq. Di low end ini justru terbalik dari high freq ya: ada banyak Db yang beredar di sana, dan lagi, kadang di layar spektrum tu frekuensi low end sampe mentok kiri masih ada isinya. Ini berarti ada banyak Db yang bisa membuat headroom jadi termakan. Kalo dihilangkan juga kok sayang… Tapi ya harus diputuskan. Coba gunakan Low Shelf mulai dari 100-150Hz. Jika dirasa masih terlalu tebal, coba tambahkan filter di kisaran 50-100Hz. Mengurangi area ini getar kick drum akan menipis, tapi ini memberi ruang definisi untuk instrumen lain, dan menambah space headroom. Jadi, kalo mau menambah clarity, tidak melulu harus boosting high freq ya. Bisa juga dengan ngurangi low end.

HPF dan Low Shelf (Mastering)

Mungkin saat ini itu dulu yg bisa saya sharing. O iya, mengenai EQ tadi berlaku untuk instrumen apapun yang sekiranya bisa dioptimalkan. Sekali lagi, tidak ada yang mutlak di mixing. Yang ada cuma enak didengar atau nggak. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya, dan selamat begadang nggarap mixing-an-nya. Good luck!

Ini hasil mixing-nya!

Kejar Rupiah di BFI Finance

Selamat datang pemirsa,

Sudah bertahun-tahun rasanya tidak menulis di blog ini. Kangen juga nih nulis. Nulis aahh …

Pengalaman bekerja di PT BFI Finance Tbk. ini berlangsung dari sejak tahun 2018 hingga 2020. Waktu itu saya memutuskan resign dari Wings Group, pulang ke kampung halaman, dan menikah. Saya teringat 3 bulan menganggur tanpa penghasilan dan malah banyak pengeluaran. Sehingga bermodal nekat dan modal bisa desain Corel, saya ajukan CV ke BFI.

Saya dipanggil untuk tes dan interview di kantor area BFI di Denpasar. Sungguh deg-degan rasanya harus mengulang melamar kerja, tes dan sebagainya. Belum lagi nantinya harus adaptasi dengan lingkungan kerja, jobdesk (iya, meja kerja hehe), dan rekan-rekan baru. Saat itu saya melamar MT Marketing Corporate yang ntahlah kerjanya apa – yang pasti sih jualan produk pembiayaan alias kredit. Hari pertama, kami para peserta dikumpulkan untuk menjalani tes umum dan psikologi secara online. Yeah, online. Keren aja, kita disuruh buka hape, masuk ke alamat website, dan mengerjakan soal disana. Tumben nghadepin beginian but it’s okay-lah. Sampai saya kaget pada saat itu orang HRD-nya bilang kalo untuk program MT persyaratannya harus masih single alias lajang (bukan jalang ya). Ini arti-nya peserta MT akan harus siap jika dilempar sana sini ke berbagai daerah. Ya wajar. Emang MT itu kayak gitu. Cuma, kaget dong. Udah tes, masa baru tau kalo ternyata gak bisa ikut programnya.

Langsung saya tanya si orang HRD itu (yang akhirnya nanti akan jadi teman seperjuangan juga waktu udah kerja). Dia bilang tunggu sampe proses interview HRD. Siapa tau ada lowongan di bagian lain. Ternyata setelah menjalani interview, saya malah ditawari tetap mengikuti program MT melalui jalur Pro-Hire (keren kan?! oi oi oi!) Itu nama jalur yang mana peserta ini sebelumnya sudah pernah bekerja di perusahaan lain. Abis interview HRD ada interview dengan user. User ini adalah bapak-bapak bos kita dikemudian hari sesuai dengan department kita nanti. Aman! Setelah itu, di hari kedua, ada MCU (Medical Check-Up) buat nge-cek kesiapan mental dan fisik. Cuma cek ke dokter kok, buat cek tensi, tes darah sama cek paru-paru. Aman juga!

The story goes on. Saya inget kali lah itu tanggal 19 Februari 2018 (join date saya). Ternyata MT Marketing Corporate itu tugasnya jualan (tuh, kan). Tapi di corporate sendiri dibagi atas tim Machinery dan HETO (alias Heavy Equipment, Trucks, and Others). Customer corporate sendiri adalah pengusaha, bos-bos besar, pak Haji hehe. Jadi kalo kamu pernah liat perusahaan-perusahaan di sekeliling tempat tinggal, kemungkinan kami kesana. Beda dengan tim Retail. Mereka terbagi atas beberapa produk pembiayaan seperti penjaminan motor, mobil, dan pembelian mobil used yang dikerjasamakan dengan dealer/showroom rekanan. Tim-nya lebih rame, sedangkan kami di corporate timnya kecil. Kami secara komplit-fungsi cuma 7 orang; Bos, marketing 3 , admin 1, collector 1, sama analist 1. Kalo di Retail, marketing-nya aja bisa belasan orang, belum admin-nya, belum collector-nya. Ada juga bagian operasional dkk yang gak bisa saya sebut satu-persatu. Belum juga tim specialist dan lainnya di Head Office BSD Tangerang. Banyak manusia deh pokoknya.

di HO BSD Tangerang

Lanjut ke tahapan “training“. Kalo di program MT-nya BFI, tahapannya adalah Pre-ICT – ICT – OJT – PKWT – Kartap (Karyawan Tetap, atau Tetap Karyawan?! wkwkwk). Di Pre-ICT (durasi 1 bulan), kita diajak mengenal semua tim, belajar jobdesk mereka apa aja, belajar visit dan survey, dan melengkapi modul pembelajaran untuk nanti dibahas saat ICT. Di ICT (1 bulan), kita dikirim ke HO BSD untuk belajar secara intensif di kelas bersama mentor dari berbagai department. Di akhir ICT akan ada tes Compre yang mana kita di-tes pengetahuannya. Tes ini bisa makan waktu setengah hari per-orang-nya. Tapi saya dulu 30 menit doang sih, hehe (makasih Pak Adit, Ce Amel dan Bang Erwin dimana-pun berada). Dulu cuma di-tes cara itung insentif sama pengetahuan tentang mesin-mesin percetakan. Setelah Compre lulus, lanjut OJT (3 bulan). Ini biasanya peserta dilempar ke cabang-cabang corporate se-Indonesia. Berpisahlah kami waktu itu, saya kebagian di cabang corporate Tangerang. OJT ini saya jalankan hanya 2 minggu karena waktu itu istri sudah mau melahirkan. Kebetulan user saya di Denpasar bisa bantu agar saya bisa cepat kembali dan melihat kelahiran buah hati pertama saya 🙂

Biasanya di akhir OJT ada presentasi industri. Kalo lulus langsung status-nya PKWT alias pegawai kontrak selama 6 bulan. Kalo performa kerja bagus, bisa cepat diangkat jadi Karyawan Tetap. Saya agak lupa kapan saya kartap, yang saya ingat sih sewaktu saya mulai pre-ICT saya udah merasa jadi karyawan karena waktu itu “diberdayakan” sama senior buat bantu ini itu hehe.

ke Sea Rovers: Dive Center di Pemuteran Bali.
4 jam dari Denpasar, bro!

Kerja di BFI, khususnya corporate, enak kok. Kita dapet kenalan bos-bos, tau seluk-beluk perusahaannya, bisa belajar flow bisnisnya (siapa tau suatu hari ada modal, bisa niru haha). Kita jadi kenal berbagai supplier level industri juga dan sedikit-sedikit mempelajari bagaimana bisnis – the real business – itu berjalan di sekitar kita. Kerja kaya gini tu inspiring. Di corporate, kita gak jualan door-to-door gitu, tapi melalui relasi, supplier dan lainnya. Capeknya ya palingan survey, proses internal yang agak semrawut, panas-panasan di jalan, debatin isi pasal-pasal di dokumen pembiayaan sama customer dll, tapi worthy-lah. Kita kaya jadi anak jalanan tapi tau seluk beluk bisnis. Seru-nya juga kalo dapet customer beda pulau, bisa jalan-jalan lah kita lihat-lihat negara kita yang cantik ini. Kalo di Bali, malah bisa ikut trip-trip wisata ke Nusa Penida atau Lembongan karena ini sentra bisnis pariwisata yang waktu itu lagi rame-ramenya.

Tapi ada saatnya semua harus terhenti …

Akhirnya pandemi Covid-19 datang. Perusahaan-perusahaan customer perlahan mulai tidak beroperasi. Kota jadi sepi. BFI mulai mengurangi tenaga dan berimbas kepada saya. Dari bulan Maret 2020 hingga Juli adalah ramai-ramai-nya customer mengajukan relaksasi/restrukturisasi kredit. Dan saya tidak menyangka itu adalah tugas-tugas terakhir saya di BFI. Selamat ya, Corona. Kamu bikin saya kena PHK 😦

Sejak Agustus 2020 saya nganggur kipas-kipas menikmati panas-nya Bali. Sesekali ketemu rekan-rekan BFI yang masih bertahan yang lagi makan siang, berharap ada berita bagus dari kantor, siapa tau bisa ditarik lagi jadi karyawan. Cuma ya beginilah kondisi saat ini. Kita hanya bisa menunggu pandemi usai. Semoga vaksin yang sudah dipesan pak Jokowi bisa manjur dan membantu pulih-nya ekonomi. Amiiiiiinnnnnn

Oiya, yang baca ini karena penasaran sama gaji-nya: gaji di corporate lebih gede dari retail. Sshhtt! Hehee

FIN

Salam tukang gibah
Collab sama HC
See you again, fellas!

Laundry Pisah/Campur

Jaman sekarang siapa sih yang gak ng-laundry? Yak, tepat! Orang yang masih rajin cuci sendiri baik pake mesin cuci ataupun cuci manual alias pake tangan. Tapi, seberapa tinggi tingkat jumlah penduduk Indonesia yang saat ini masih mencuci dengan mesin cuci kelas rumah tangga? Yak, tepat! Gak usah digagas. Toh saya gak punya datanya. Hehee

Sobat (Cie.. Sobat..), tahu kah ketika kamu ng-laundry pakaian kamu ke laundry langganan kamu, apakah dalam proses cucinya pakaian kamu dicampur dengan pakaian orang lain atau dicuci terpisah? Kalo tahu, well, congrats, berarti kamu aware dengan jasa yang kamu terima.

Dalam bisnis usaha laundry, pelaku usaha biasanya memiliki metode pencuciannya masing-masing. Laundry campur berarti baju kamu dicuci bareng customer lainnya. Ini dilakukan oleh pihak laundry untuk menekan cost operational dari segi air, listrik, dan waktu. Dengan menerapkan metode ini, usaha laundry-nya bisa mendapat profit yang lebih besar. Efek samping dari hal ini adalah Baju Kamu di-Campur. Trus?! Bayangkan seandainya customer lain itu punya penyakit kulit, kamu kemungkinan bisa tertular. Or, bayangkan jika ternyata dicucian customer lain itu ada (sorry to say) pakaian dalam. Hiii… Saya tidak kemudian bermaksud merendahkan laundry dengan metode cuci ini. Namun, kadangkala penikmat jasa ini perlu tahu bagaimana nasib dari pakaiannya saat di laundry.

Tidak sedikit pula penyelia jasa binatu yang menyuguhkan jasanya dengan menerapkan konsep cuci terpisah. Artinya, pakaian kamu tidak dicampur dengan pakaian customer lain. Istilah bekennya “1 Customer 1 Mesin”. Tapi, karena beban operasional yang lebih, hal ini berdampak pada jumlah pemasukan yang bisa diterima pelaku usaha laundry. Di sini pihak laundry dapat menjaga ke-higienitas-an pakaian customer dengan lebih baik. Tak heran biasanya laundry dengan cuci pisah mematok tarif yang sedikit lebih mahal. Yah, namanya juga ada harga ada kualitas.

Mau cuci campur atau dipisah, itu terserah sobat pembaca. Tentu kita juga harus mempertimbangkan pengeluaran untuk masalah cuci-mencuci. Namun tak ada salahnya juga mencari yang lebih higienis untuk kesehatan yang lebih terjamin. Dengan tulisan ini, semoga pembaca lebih melek akan jasa laundry yang selama ini dipilih.

Mengkilapkan Ban Mobil

Ingin mengkilapkan ban tapi bingung caranya? Atau darurat perlu googling dulu sebelum bertindak? Mari langsung kita mulai tanpa basa-basi!

Pastikan ban anda kering, tidak basah/lembab/semi-kering. Pokoknya kering-ring-ring. Lalu ratakan semir ban anda ke permukaan ban dengan menggunakan kuas. Mau kuas cat, kuas gambar, sah-sah saja. Biarkan semir meresap dan kering sendiri. Voila! Ban mengkilap kembali seperti baru.

Tidak perlu dicampur dengan air. Anda bisa menggunakan semir ban Kit atau Carrera. Untuk harga, pakai yang pouch saja sekitar 10.000-an.

Sekian. Terimakasih. The end.

Ban 1

Ban lama yang biasa-biasa saja mengkilap kembali

Punya Adek Bayi

Tema: Melahirkan

Latar Tempat: Denpasar, Bali

(Opening – Basa Basi Busuk 🙂 )

Memiliki momongan pasti merupakan impian setiap orang tua. Membayangkan sang buah hati di dalam dekapan, sungguh lucu rasanya. Tapi untuk melewati masa-masa kehamilan dan persalinan bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi para ibu. Seperti kisah ibu yang satu ini, yang tak lain dan tak bukan adalah istri saya sendiri.

Saya dan istri boleh saja berbahagia pada malam itu tanggal 12 Juni, saat kami kontrol rutin ke dokter kandungan. Dr Joni, yang merupakan kerabat keluarga kami, telah menjadi pilihan dalam melewati masa-masa kehamilan sang istri. Senang sekali malam itu Dr Joni memeriksa dan memberitahukan bahwa rahim istri saya sudah pembukaan 1 jari lebih. Praduga dokter adalah anak kami akan lahir sesegara mungkin karena setelah bukaan 1, bukaan selanjutnya akan terjadi lebih cepat. Kami yang statusnya masih calon-orang-tua-newbie itu bahagia campur deg-degan menanti HPL yang jatuh pada antara 15-16 Juni.

Perlahan-lahan, kontraksi mulai melanda. Istri yang mulai khawatir meminta saya menghitung durasi dan interval kontraksi. Hasilnya adalah interval 7 menit dengan rata-rata 45 detik durasi kontraksi. Kami pun berangkat ke RSIA Puri Bunda Denpasar pada tanggal 17 Juni dengan harapan pembukaan sudah makin lebar tapi kami harus merasa kecewa karena bidan di sana mengatakan bahwa rahim istri saya masih di bukaan 1. Dr Joni pun segera datang sesaat setelah kami hubungi. Beliau juga mengkonfirmasi hal yang sama. Mungkin kami yang terlalu buru-buru mengharapkan buah hati kami segera lahir. Tapi saat itu HPL sudah lewat dan juga sudah 5 hari sejak bukaan 1. Kok aneh?

Tanggal 18 malam istri saya mengalami kontraksi yang (menurutnya) luar biasa sakit. Kontraksi itu hingga 3-4 kali dalam 10 menit dengan durasi 1-2 menit di tiap kontraksinya. Sungguh was-was melihat kondisi ini. Hingga akhirnya kami berangkat kembali ke RSIA malam itu. Jam 12 malam, istri saya kembali direkam tapi bidan mengatakan bahwa gerakan bayi dirasa sangat minim dan masih juga di bukaan 1. Saat itu juga Dr Joni menghubungi saya, mengabarkan bahwa ia memprediksi air ketuban mulai tidak menghantarkan oksigen dengan baik sehingga bayi kami mulai lemah. Hal ini dibuktikan dengan bayi kami yang non-responsif. Tapi beliau menyarankan kami tetap stay di RSIA untuk direkam lagi jam 6 pagi.

What? 6 Hours? Yak, betul. Kami pikir kami akan bisa menunggu pagi dengan memejamkan mata sejenak beristirahat. Tetapi, apadaya kontraksi datang tiap 3 menit. Sungguh tidak tega meninggalkan istri seperti itu sedangkan suami asyik ngorok (pengennya sih 😀 ), dan jadilah kami berdua tidak tidur sepanjang malam itu. Hingga pagi tiba…

Hasil rekam pagi itu seburuk semalam. Dr Joni kembali menghubungi saya, menyarankan untuk mengambil tindakan operasi SC (Caesar). That wasn’t the plan! Kami mau bayi kami lahir normal, paling tidak dirangsang induksi. Tapi Dr Joni tidak menyarankan induksi karena sakit yang dihasilkan akan terlalu berat bagi istri dan sang bayi, terlebih lagi bayi kami sudah lemas begitu. Saya sebagai laki-laki tulen harus mengambil keputusan di tengah tangisan istri yang makin menjadi-jadi.

15 menit saya duduk sendiri di luar ruang operasi. Karena memang kami tidak berencana bersalin malam tadi, kami tidak membawa seabrek persiapan yang telah kami packed. Handphone saya mati, tinggal ada punya istri sisa baterai 10% yang saya pakai mengabari orang tua dan mertua. Tak lama berselang, saya dengar bunyi tangisan bayi dari ruang operasi. Is that my baby boy?

Hati ini boleh kembali bahagia melihat bayi kami lahir dengan selamat sentosa. Sungguh pagi yang melelahkan namun penuh haru. Istri saya saat itu masih terbaring lemas pasca operasi sehingga kami harus terpisah karena ia dirawat di ruang rawat. Dr Joni yang memimpin operasi pagi itupun memanggil saya, memberi selamat, dan menceritakan bahwa air ketubannya sudah mulai keruh sehingga memang langkah yang tepat adalah dengan operasi. Kalau kami paksa induksi, kasihan istri pasti kesakitan, kasihan bayi kami. Kalau saja saya nekat saat itu. Kalau saja…

(Paragraf Iklan 😀 )

Kami sangat terbantu dengan adanya pelayanan BPJS Kesehatan. Dengan BPJS, biaya yang kami keluarkan tidak sebanyak apabila tanpa BPJS. Kami naik kelas dari kelas II ke kelas VIP. Staff RSIA Puri Bunda juga menyampaikan kami bisa mendaftarkan bayi kami ke BPJS agar biaya perawatannya bisa di-claim juga sehingga tagihan kami bisa lebih kecil lagi. Bersyukur sekali ada fasilitas seperti ini sehingga melahirkan tidak sebegitu menyeramkannya dari sudut pandang finansial.

(Closing)

Mungkin sekian berbagi pengalaman kali ini. Saat ini bayi kami sudah di rumah dan semakin besar tiap harinya. Sungguh bahagia kami akhirnya memiliki buah hati. Bersyukur pula kami telah memilih dokter dan rumah sakit yang tepat untuk penanganan yang cepat dan tanggap. Semoga pengalaman ini bisa bermanfaat bagi kawan pembaca.

See you next time!

Kisah PC Mati

Welcome back!

Kali ini saya mau bahas pengalaman saya memperbaiki komputer (PC) di rumah yang mati dan debuan. Seperti sudah keharusan kalo di rumah itu wajib ada PC. Baik buat surfing the internet, streaming film, main game, atau sekedar update blog ini. Hehe. PC di rumah mati karena “katanya” motherboardnya mati. Well, itu kata bapak saya yang bahkan tidak mencari tahu betul kenapa PC kami sampai mati lemas tak berdaya itu. And the story begins …

Baut dan kabel berserakan karena saya niatnya mau bongkar-bersihin-pasang itu PC. Setelah semua ready. Voila! Not working. Lalu kembali saya copot komponen-komponen PC sembari berusaha mendeteksi di mana letak kerusakan. Sampai saya dengan superpedenya mengklaim kerusakan ada di Power Supply-nya (PSU). PSU saya yang 430W itu mana sanggup ngangkat CPU(55W)+VGA(400W)=minimal 455W. Mungkin bisa, tapi alhasil jebol juga kan! Esoknya saya langsung berangkat bertualang mencari kitab, elaahh.. mencari PSU. Dazumba dengan daya 450W jadi pilihan. Sebetulnya gak yakin juga karena kapasitas daya yang mepet tapi coba aja deh. Barang siap, semua ready, hit that power button! Voila! Not working.

IMG_0325crop

PSU Dazumba 450W

“330ribu ku…”, pikir saya sambil merenung merana. WHY??!! Selain OK Google, mungkin seharusnya ada Thanks Google. Dia menggiring saya ke satu forum yang mana memberi info kemungkinan PC mati bisa karena kabel front panel yang rusak. Maka tanpa pikir panjang (karena udah desperate ya), langsung saya set-up saja seperti yang disarankan:

IMG_0324crop

Kemungkinan kabel Power-nya rusak, pasang kabel Reset ke slot Power

Voila! PC saya hidup kembali. Namun kendala berikutnya muncul: layar saya tidak menampilkan gambar (no signal). Saya bongkar pasang kembali untuk mencari solusi, dan ternyata layar saya bisa menampilkan gambar dengan posisi tanpa VGA. Logika saya yang seadanya ini langsung menyimpulkan: oh, VGA-nya rusak. And the story continues… 

Kabel front panel sebetulnya murah, hanya Rp 17-18ribu saja. Namun susah mencari kabel ini, kecuali bersedia sekalian membeli case PC baru. Mungkin next time saja saya beli case PC karena toh ya PC ini sekarang bisa hidup lagi. Sekarang masalah adalah  VGA. Tanpa VGA mau main game apa nanti? Solitaire?!

IMG_0323resize

Gigabyte GTX 1050

GTX 1050-nya Gigabyte menjadi pilihan saya untuk mengganti VGA yang sebelumnya. “Mahal sedikit, tapi sekalian yang bagus”, kata pikiran nakal saya. Setelah barang datang (pesan online), dengan hati riang saya bongkar lagi PC saya itu. Kali ini saya akan bisa main game yang grafisnya oke, di setting-an high pula. Yihiiii. Tapi, sekali lagi hati saya harus hancur karena gambar tidak tampil di layar. WHY??!!

“Baru beli masa rusak? Ahh, jangan-jangan dari kemarin ini motherboard-nya yang bikin gambarnya gak ada”. Berarti apa?? Beli motherboard! Hahahaa. Istri saya bisa ngamuk nih kalo sampai tahu. Cuma demi kesenangan, why not?! Bergegas saya langsung tancap ke toko PC, memilih Gigabyte H81-S2PH, dan pulang dengan hati berharap, dan untuk kesekian kalinya hati saya harus remuk. Tetap NOT WORKING!

Bukan VGA-nya, bukan motherboard-nya. Terus apa? PSU baru ganti juga. Masa Harddisk?! Masa RAM?! Kembali Mr Google memberi petuah untuk update driver motherboard dan VGA, tapi tetap gagal. Hampir seminggu penuh saya stres ‘kenapa ini gak bisa’, stres ‘gimana kalo istri sampai tahu’, stres ‘duh, duit…’

Setelah cukup lama, saya baru tersadar kabel layar saya input ke VGA motherboard. ‘Coba langsung ke GTX-nya kali ya? Tapi slot di GTX cuma ada DVI-D, HDMI, dan DP. Coba DVI-D!’ Ternyata DVI memiliki banyak variasi sehingga saya salah beli adaptor. Akhirnya saya beli saja adaptor HDMI agar sederhana. Tanpa pikir panjang, karena memang perjalanan sudah panjang, saya input kabel dari layar ke GTX, dan VOILA! It works fine. Gambar di layar kini lantjar djaja.

Senangnya PC saya kini siap digunakan. Walaupun banyak biaya keluar, tapi alhasil PC berhasil diperbaiki dan banyak pula pelajaran yang didapat karena jadi banyak belajar bareng Mbah Google. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembacanya.

FIN

Beli Sepiker

Welcome back!

Kali ini saya mau bahas sedikit tentang audio mobil. Mobil biasanya punya speaker pintu kiri-kanan. Speaker bawaan (pabrikan) mobil sendiri seringkali kurang memenuhi hasrat penikmat musik akan output audio yang berkualitas. Maka dari itu banyak bengkel-bengkel variasi yang menawarkan upgrade sistem audio mobil.

Saya memang bukan ahli audio. Tapi sebagai orang awam, saya cukup paham mana yang namanya crystal clear dan burem. Pertama kali saya upgrade audio mobil, saya langsung paham kenapa speaker pabrikan saja tidak cukup: it sounds suck, really. Dulu saya pikir jika mau audio mobil bagus, saya harus ganti HU(headunit/tape). Ternyata bukan hanya itu. Oh, mungkin harus ganti speaker merk ternama seperti Pioneer atau Kenwood. Ternyata bukan hanya itu. Tapi setelah tambah power dan woofer barulah saya terkesima. ‘Ah, ini dia!’

Modal awal saya 2 juta untuk HU JVC second, speaker coaxial Pioneer, power dan woofer Physiks. Dan itu saya pasang di Panther box buat kirim-kirim barang. Gila deh, gaya(baca:alay) banget masuk pasar jedam-jedum. Hahahaa. Tak lama berselang, saya dikaruniai mobil pribadi oleh Yang Maha Kuasa. Tak pikir panjang, saya memutuskan audio mobil harus segera saya ganti demi betah nongkrong dalam mobil.

Merk-merk ternama langsung mampir ke otak saya. Pioneer, Kenwood, JL Audio, Infinity, JBL, Alpine dkk. Berhubung saya pernah belajar rekaman, saya paham betul JBL punya reputasi baik dalam dunia audio. JBL by Harman. Yes, Pak Harman. Harman Internasional sendiri punya subsdiary yang cukup terkenal di kancah peralatan audio. JBL salah satunya. Infinity itu juga milik Mas Harman. Ada lagi: AKG bagi yang suka rekaman pasti familiar sama merk ini. Maka saya tidak ragu untuk memilih JBL sebagai calon peramai mobil saya. Dan lagi JBL dikategorikan ke dalam SQ-Sound Quality dalam kelas audio mobil. Jadi dia mampu menghasilkan suara yang jelas dan akurat (crystal clear). Namun ini berarti suara yang dihasilkan tidak akan se-ngebass speaker-speaker lain yang masuk kategori SPL dan SQL. SQ itu mentingin kejernihan suara. SPL itu mentingin dentuman bass. SQL itu cocok untuk orang yang bingungan antara mau pilih suara jernih atau dentuman bass. hehehe maap.

spd_20161130181544_b

Subwoofer JBL GT5-12

Yah, namanya modal belum gede banget, saya pilih paketan JBL di Gading AutoSpeed Yogyakarta. Di harga 4 juta, saya dapat power seri GX (4 channel)+woofer GT5 12 inci sekalian box-nya+speaker split GT5, dan itu semua satu brand. Agak berat juga sih waktu denger ’empat juta,mas’. Hiks. Tapi begitu cek sound, rolling door bengkel sampe bergetar. Suara empuk mengalun dari dalam mobil saya, dan saya tahu ini yang saya mau. Betul kata review-review di internet. JBL sebagai SQ sangat mumpuni untuk urusan kejernihan reproduksi suara. Bassnya mungkin bisa dikatakan di luar ekspektasi saya yang ‘harus keras nih buat musik disko’, tapi walaupun bassnya tidak dominan, saya rasa justru sangat match dengan keseluruhan speaker. Dan lagi, woofernya empuk puk tapi gak nonjok. Memang, ada harga ada kualitas ya. Senang rasanya tidak salah pilih. Saran saya: jangan ragu untuk produk ini. Harga pantas, hati puas. Ahseeekkk!!

Demi Si ‘Dia’

Mari bicara sedikit tentang romansa. Tak terasa 3 tahun berlalu tanpa ada si ‘dia’ yang spesial di sisi saya. Rindu rasanya merasakan kembali sensasi memiliki seorang kekasih. Dan akhirnya kini … tetap sendiri. Hahahaa!

Saya bukannya tidak berusaha. PDKT tetap saya lakukan, dan bahkan sekaligus dengan banyak wanita. Tapi sayang, gadis-gadis belia ini bukan ‘dia’ yang saya harapkan. Saya gak sreg! Seakan ada sebuah standar yang harus terpenuhi, dan mereka ada di luar itu. Menurunkan standar memang bukan sesuatu yang saya sukai sebagai sebuah approach memilih wanita. Tapi pun ini harus saya lakukan demi punya teman jalan. Apa mungkin saya-nya saja yang gak laku, ya? Haha!

Bukannya mau sombong, SUMPAH demi apa saya gak punya maksud untuk pamer. Listen this:

Ketika saya sedang asik bercengkrama (oke, bercumbu) dengan salah satu gadis, ada satu kalimat yang sampai sekarang menjadi momok bagi saya. Entah apa yang sedang kami lakukan saat itu, yang jelas saya ingat sepenggal pembicaraan kami:

Gadis: Gak mauu…!

Saya: Lho, kenapa siih?!

Gadis: Abis.. Kamu playboy! Aku gak percaya.

Saya: Hah?! Jadi kamu gak percaya sama aku?

Gadis: Yaah.. Percaya gak percaya. Hmm.. Bingung ah. Pokoknya jangan!

Menurut dia saya PLAYBOY, dan menurut saya saya bahkan tidak memiliki kriteria untuk disebut seperti itu. Some boys might think it’s cool, but it’s not for me. Well, I thought it was, but something changed my mind. Awalnya terasa keren. Apalagi di depan teman-teman bisa terlihat macho karena sisi charming saya mampu menggaet gadis-gadis ini.

But still I have no girlfriend.  And it feels empty.

Later on, saya cari tahu apa yang membuat saya tidak juga memiliki kekasih hati. Mereka mendekat, saya merapat, namun tanpa hati yang utuh alias setengah hati. Kenapa? Karena bukan tipe seperti mereka yang saya mau. Tapi demi teman jalan…

Alhasil, berkat respon yang mereka pikir adalah sinyal dari saya, mereka nempel. Nghubungi saya tiap hari, bercanda, jalan. Dan ketahuilah most of them sudah punya pacar bahkan suami. Holy Hell. Jadi apakah saya hanya pelarian?! Kok jadi terbalik gini!?

Setiap ada yang benar-benar menarik hati, benar-benar ‘tipe gue banget!’, doi pasti gak tertarik kepada saya. Berkali-kali saya berhadapan dengan hal ini. Jelas saya melakukan approach yang sama dengan gadis lainnya. But these girls seem not interested in me AT ALL. For a while I think “Why? Where did I go wrong?”. Sampai di suatu momen saya teringat kata ‘playboy’ itu lagi. Apa benar ini yang salah? Apa mereka takut?

girl-rejecting-proposalfb

Ditolak, bro!

Masih penasaran, saya melakukan survey kecil-kecilan demi mendapat info. Saya hubungi gadis-gadis yang pernah dekat bahkan juga yang saya gagal kencani. “Aku mau tanya, tapi kamu langsung jawab jujur ya. Menurutmu emangnya aku keliatan kayak playboy?”

Dan  semua menjawab “Iya”. wtf

Okay, say that I now understand that girls see me that way. So what’s with it?!

Asik loh bisa ngucapin selamat pagi sama si A, bercandaan di waktu kerja sama si B, jalan-jalan jajan sembarangan malam-malam sama si C, telfonan berjam-jam tengah malam sama si D. Tapi tetap saja ada yang kosong di lubuk hati ini, halah! Kenapa yang sreg malah nempel, yang ‘my type banget’ malah menyingkir. So that’s the question.

Anggaplah namanya Meta.. Well namanya memang Meta hahahaa (Mot, sori kalo lu sampe baca ini). Meta ini teman di tempat kerja yang lama, tapi kami jarang banget tuh dulu yang namanya interaksi. Dia cantik, face-nya lucu (I got to say that, sorry). Tipe gue banget. Pendek-manis-berisi.

Suatu saat saya mencoba peruntungan saya mendekati Meta walaupun akhirnya tak juga saya berhasil ambil hatinya. Walaupun saya udah ’embuh-lah’ sama dia, tapi ada suatu pelajaran yang masih saya simpan hingga hari ini.

Di saat saya sudah tak tahu harus bagaimana untuk meluluhkan hatinya, saya masa bodoh saja cerita tentang perjalanan asmara saya hingga survey ala kadarnya yang saya lakukan.

Meta: Hahaa. Kamu seperti temanku. Kebanyakan arah. Dekat sama cewek, belum jadi malah udah ditinggal. Gimana mau fokus kalo seperti itu? Lagi pula kamu ng-treat cewek terlalu pukul rata. Masa semua cewek di-spesial-in? Jelas pada GR lah. Sekarang kamu dianggap php malah gak terima.

Makes sense! Kalau boleh membela diri, saya hanya mencoba bersikap friendly, tapi malah jadi seperti ini. Yang jelas, sudah banyak cara yang saya lakukan demi mendapatkan si ‘dia’ yang saya idam-idamkan dan selalu gagal. Mungkin dengan sedikit kontrol diri yang lebih baik dan gak over genit, saya akan temukan dan mampu dapatkannya. Demi si ‘dia’ saya pasti bisa.

Aahh.. Saya rindu berbagi cinta, dicinta, dan bercinta. Whoops!!

 

 

OFFICE POLITICS!

Politik kantor memang tidak akan pernah sirna dari hidup bekerja. Gap-gap-an sepertinya lumrah. Kelompok ini dan itu bersaing secara gerilya untuk dapat kuasa. Sebenarnya bukan kuasa sih, tapi sekedar privilege untuk meraih kemudahan kerja alias biar bisa seenaknya.

Di tempat saya bekerja juga sama saja, dan saya sudah dari jauh-jauh hari observasi, bersiap join kubu yang saya anggap benar. Men, lu gak akan mau berakhir di pojokan sana dengan sekelompok orang-orang payah, menggerutu, berharap yang macam-macam tapi gak ada aksi. Boro-boro solusi. Menuntut ini itu dalam hati. Berharap pimpinannya paham. Lu pikir pak bos-lu itu ahli ramal tukang baca pikiran?! Duh, repot deh kalo ngobrol sama tim yang bawaannya negatif mulu.

Tapi eh tapi, saya juga punya prinsip. Sejauh apa yang mereka lakukan tidak menyenggol saya dan terlihat baik-baik saja ya sudah. Tak perlu pula berasumsi. Asumsi itu tidak baik dan biasanya tidak benar.

“Welcome to the jungle” kata kakak saya saat saya diterima bekerja. Hell yeah, IT IS a jungle. Walaupun begitu, saya tetap mencoba untuk blending dengan berbagai suku ras yang ada dalam kantor. Dulu rule number one saya: “trust no one”, sekarang jadi “tell nothing”. Kantor bukan tempat yang tepat untuk sharing opini tentang seseorang alias nggosip. It will stab you. Jadi yah saya menghindari ‘nyacat’-in orang. Tapi ya saya juga bukan orang yang bersih. Saya juga lihat-lihat orang yang saya ajak ngobrol bisa saya manfaatin untuk apa kedepannya. Licik? Memang. Kata orang: berbuatlah baik agar kelak nanti saat kau susah kau dibantu. Apa bedanya? Bahasanya lebih halus. Apa samanya? Sama-sama ada maunya.

Di kantor saya yang ber-kubu itu, saya beberapa kali dikatai ‘bolo’nya si ini lah si anu lah. BODO! Gue makan gratis karena si A, gue tetep up-to-date karena si B, dan kerjaan gue lancar karena elu! Jadi yaah santai sajalah. Masalah mau temenan sama siapa ya bukan masalah. Mau ada yang sirik juga bukan masalah. Masalahnya adalah: tanpa diberitahu, saya terlalu bodoh untuk mengerti kalo ada yang sirik. Hahahaa. Hidup gue plong 

Nyolong di Google

Nyolong di Google

Tentang Sendirian

It’s like the world hates me, or …

Seperti mereka ingin menjauh. Tapi, hei, bukankah aku yang selalu menolak mereka?

Mereka pasti punya intensi lain. Aku takut. Takut akan bayang-bayang kelak aku dipermainkan. Takut memikirkan hal buruk yang mungkin saja mereka rencanakan.

Tapi, hei, asumsiku pun tak lebih baik dari kebanyakan orang. Aku curiga most of the time malahan. Kabar-kabar burung juga sering tertelan mentah. Mungkin semuanya memang mentah jika aku tak punya bukti nyata. Mungkin aku harus coba untuk berani terima ajakan mereka: untuk melakukan hal yang tidak aku suka? Apa iya aku tidak akan suka? Apa hanya karena aku sedang tak ingin? Atau karena hal itu belum pernah kulakukan? Apa benar karena aku punya standar yang kusamarkan sebagai ‘prinsip’?

Saat aku bosan, saat aku lirik lagi sosial media, saat merasa sendiri, aku pikir ‘kenapa aku di sini doing nothing? Kenapa aku iri dengan kegembiraan kebersamaan orang lain? Toh aku juga yang sering nolak ajakan’

Memang untuk mencoba memulai itu susah. Apapun itu. Tak terkecuali untuk perlahan mencoba percaya. Entah apa yang telah terjadi sehingga kepercayaan itu adalah hal yang susah kuberikan pada orang lain. Mungkin sebaiknya aku diam saja di sini sendiri, atau keluar sana dengan pasrah dan masa bodoh dan lihat apa yang akan terjadi.